Alvian Rizky Yanuardian-楊安庭 (National Central University)
Masih jelas dalam memori saya, setelah 1 tahun lamanya memburu beasiswa dan calon pembimbing, Allah pilihkan Taiwan sebagai tempat saya hijrah untuk mendalami ilmu kebumian, khususnya dibidang tanah longsor. Diskusi yang alot dengan profesor sebelum keberangkatan menjadi pengalaman tersendiri bagi saya yang mungkin tak terlupakan. Ekspektasi yang begitu besar dari profesor terhadap rencana penelitian yang akan kami lakukan, mengharuskan saya melakukan negosiasi agar keberangkatan saya tidak sia-sia. Tujuannya jelas, saya pergi untuk mengabdi. Jadi saya pastikan bahwa penelitian yang akan saya lakukan di Taiwan, bisa saya kembangkan di Indonesia nantinya.
Tatap muka pertama menjadi momen yang saya tunggu setelah menjalani karantina selama 14 hari di kamar hotel tanpa bilik jendela. Walaupun matahari tampak malu menampakkan diri dipagi itu, tidak ada keraguan dalam diri ini untuk melangkahkan kaki melalui jalanan aspal yang dipenuhi daun kering yang berguguran. Saat yang bersamaan, udara yang cukup dingin menembus jaket merah yang kukenakan karena angin musim gugur yang berhembus kencang. Entah kenapa angin ini terasa begitu asing bagi saya saat itu dan membuat saya berhenti sejenak. Mendadak muncul rasa takut untuk menjalani serangkaian proses yang panjang di tempat yang asing ini. Layaknya seorang pelari maraton yang harus berlari puluhan kilometer dan terkadang tak tahu dimana garis finish berada. Tentunya hal seperti ini adalah sesuatu yang wajar, mengingat ini pertama kalinya saya meninggalkan Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Lalu kuingat lagi sebuah pertanyaan yang sering sekali muncul dikepala sembari mencoba melangkahkan kaki kembali. “Mengapa saya harus pergi ke Taiwan?!” Pertanyaan ini yang menjadi landasan saya untuk berjuang di Taiwan dan pertanyaan yang akan saya tanyakan kembali pada diri sendiri saat ada rasa ragu maupun putus asa datang menghampiri.
Tak terasa setelah 15 menit berjalan, sampailah saya di depan sebuah pintu kayu berwarna hitam yang cukup mengkilap. Ada sebuah papan nama kecil yang bertuliskan “Prof. Jia-Jyun Dong”. “Inilah saatnya.” Hanya frasa itu yang muncul dipikiran saya saat itu. Kuketuk pintu
sebanyak tiga kali sembari menunggu suara dari dalam ruangan. Tak lama berselang, pintu dibuka oleh seseorang yang tingginya melebihi tinggi rata-rata orang Indonesia pada umumnya dan memiliki kulit kuning langsat. Kulihat mata menyipit dan pipi yang terangkat, menandakan ada senyuman lebar dibalik masker yang dia kenakan. “Alvian? Selamat datang, ayo duduk.” Sapanya dengan hangat. Tanpa ragu saya duduk dan mulai memperkenalkan diri yang dilanjutkan dengan diskusi mengenai penelitian yang akan saya lakukan selama 4 tahun kedepan. Berbeda dengan percakapan melalui email yang lalu, diskusi kali ini terasa lebih bersahabat. Tidak ada lagi negosiasi, yang ada hanya jajak pendapat. Tidak ada paksaan untuk saya melakukan riset yang saya tidak inginkan selama menjadi mahasiswa doktor disini. Alhamdulillah Allah permudah pertemuan pertama saya dengan profesor pagi itu.
Minggu pertama dan kedua menjadi mahasiswa doktoral di National Central University tak semulus pertemuan saya dengan profesor yang lalu. Terasa sekali perbedaan atmosfer kegiatan penelitian dalam laboratorium di kampus saya sekarang dengan di Indonesia. Work hard, think hard; saya kira kata ini adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan cara kerja orang- orang di sekitar saya saat itu. Tidak ada menit yang terbuang sia-sia tanpa kegiatan yang berhubungan dengan penelitian yang sedang dikerjakan. Menjelang rapat mingguan, rasanya 24 jam itu waktu yang kurang untuk menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan saat pertemuan pertama antara saya dan profesor. Saya selalu mencoba untuk memberikan hasil yang terbaik saat rapat berlangsung. Hingga suatu saat, badan ini tidak berdaya untuk beranjak dari tempat tidur. Saya merasa begitu malas untuk beraktivitas. Burnout is not a myth, it’s real. Saya mengalami apa yang sering disebut dengan burnout. Setelah saya ingat-ingat kembali, beberapa hari yang lalu saya mengalami insomnia yang cukup parah karena terus memikirkan jawaban dari pertanyaan profesor saat itu. Kelelahan yang berlebihan menyebabkan saya harus istirahat selama kurang lebih 3 hari dan tentu saja saya melewatkan 1 kali rapat bersama dengan profesor. Saya sadar Allah sedang mengingatkan saya. Betapa baiknya Allah saat itu, memberikan waktu bagi saya untuk istirahat dan memulihkan kekuatan sebelum melanjutkan aktivitas kembali.
Selama 3 hari itu juga, istri saya intensif mengontrol kegiatan saya melalui videocall. Bercanda dengan putri pertama kami menjadi momen penghilang stres yang seharusnya sudah saya lakukan sebelum mengalami burnout. Disela-sela percakapan, muncul sebuah pertanyaan dari istri saya yang membuat saya sadar, “Apa cara seperti ini yang kamu mau untuk mencapai
tujuanmu?” Tentu saja jawabannya tidak. Tidak mungkin saya bisa meraih apa yang selama ini saya inginkan dengan cara ini. Mustahil. Saat itulah saya putuskan untuk mendatangkan istri dan putri saya ke Bumi Formosa untuk ikut berjuang.
Mendatangkan istri dan putri saya ke Taiwan ternyata bukan suatu hal yang mudah, terlebih kasus Covid-19 di Indonesia sedang meningkat drastis saat itu. Tidak ada kepastian kapan pihak imigrasi akan membuka “pintu” perbatasan, sedangkan berkas-berkas persyaratan untuk masuk ke Taiwan memiliki masa kadaluarsa. Namun atas izin Allah, beberapa hari kemudian istri dan putri saya berhasil berangkat ke Taiwan. Mereka adalah satu-satunya orang Indonesia yang berangkat dengan tujuan menemani keluarga yang ada di Taiwan. Tak hanya itu, Allah permudah mereka untuk karantina selama 14 hari di kos dekat saya tinggal. Walaupun mereka tinggal dekat saya, tetapi saya tidak bisa membayangkan ketika putri saya yang masih berumur 2 tahun harus berada di ruangan tertutup selama 14 hari. Istri saya bercerita kalau hampir setiap saat dia harus melakukan bonding dengan putri saya, karena dia selalu meminta untuk bermain di luar kamar. 14 hari dilalui dengan berbagai drama antara istri dan putri saya. Betapa bahagianya mereka, khususnya putri saya, ketika mereka keluar dari kamar karantina. Malam harinya, kami berdua sempatkan melakukan diskusi kecil dan muncul sebuah pertanyaan, “Bagaimana istri dan putri saya mendukung saya untuk mencapai semua tujuan yang ingin saya capai di Taiwan?” Pertanyaan inilah yang nantinya menjadi salah satu guidance mereka selama tinggal di Taiwan.
Sebuah kesuksesan besar akan selalu dimulai dengan kesuksesan-kesuksesan kecil dibelakangnya. Sekecil apapun kesuksesan itu, tentu akan ada rintangan dan cobaan yang harus dilalui. Mengingat dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang dimulai dengan “mengapa, apa, dan bagaimana” merupakan bentuk ikhtiar kami untuk melalui cobaan yang ada, khususnya ketika saya menjalani awal kehidupan sebagai mahasiswa doktoral di Taiwan. Tentunya, ikhtiar tersebut haruslah diiringi dengan tawakal karena sesungguhnya seluruh hidup ini adalah milik Allah semata. Kami juga percaya Allah telah mengatur segala hal bagi kami untuk dapat bertahan di Taiwan.